1

10 pm till 10 am

Posted on Minggu, 27 Desember 2009


Waktu kita lebih banyak tahu tentang dunia, percayalah, makin sempit alasan kita untuk tidak bersyukur. Aku pernah baca entah di mana, bahwa perjalan hidup kita seperti naik kereta api. Semuanya berlalu begitu cepat. Pemandangan lwat, lewat, dan lewat. Kecuali kita mau melihatnya dengan jeli. Memperhatikan jendelanya, menikmati dengan seksama supaya nggak kelewatan begitu saja.

Aku setubuh tuh dengan pernyataan itu. Tiap hari adalah rutinitas, ada yang istimewa pun kalau kita nggak menaruh minat untuk memperhatikannya, semuanya bakal lewat begitu aja. Nggak ada pelajaran berharga yang bisa kita petik. Ibarat naik kereta tadi, kalau ditanya “gimana tadi perjalanannya?” pasti jawabannya, “Ya gitu-gitu aja”. Nggak seru kan. Eehehe..

Jumat, tanggal 25 september lalu, aku perhatikan baik-baik kejadian diluar jendela keretaku. Ini petualang kesekian yang aku alami, dan bakal jadi cerita buat anak cucu, ehehe, bosen ya denger kata-kata ini. Barangkali entar, anak cucuku aku bikinkan sendiri buku dongeng “Petualangan Nenek Puspita”. Wahhaahahaaha, emang Cinderella aja yang ceritanya bagus…

Yup, jadi jumat itu rencanaya aku mau hunting foto demi tugas suci dari mata kuliah fotografi. Temanya adalah pasar. Kelompokku kebagian Pasar Mangga dua dan Pasar Ampel. Karena nggak punya kamera aku minta tolong mas Barel, temenku di gedung biru. Janjiannya sih jam 10 malam. Tapi ampun deh, entah kesambet setan apa, mas barel ini baru menampakkan diri jam 12 malem. Bahkan mas Dipta pun, yang maunya bantuin manggilin, ikut kesambet. Ckckckckck...

Teman-temanku yang malang, sampai nggak sabar nunggu karena banyak keperluan lain dan nggak boleh keluar malam. Ya, ya, ya. Karena udah nunggu dua jam, masa iya aku menyerah gitu aja gara-gara nggak ada temennya. Sia-sia dong. pantang pulang dengan tangan hampa. Ahahaha. Ya sudah, dua fotografer yang habis kesambet ini aku paksa tetap bantuin aku motret.

Jam 12an di Mangga Dua ternyata masih sepi. Banyak yang masih loading barang ke stannya masing-masing. Akhirnya aku jeprat-jepret seadanya dulu, nggak long shot, lha wong masih belum oke suasananya. Oh ya, tipsnya buat fotografer belajaran kayak aku, ehehe, sebelum hunting foto, sebaiknya googling dulu biar tahu gambarannya foto apa sih yang bisa diambil. Aku ambil foto ayam, foto dari atas lombok merah-merah. Awalnya malu-malu, tapi si om beruang nih, memberi inspirasi : lek isin kapan entuk’e, penekan iku biasa, seng penting amit. Yah begitulah, long shot mangga dua-pun aku dapet dengan naik atepnya pick-up pedagang yang lagi loading. Tengkyu ya pak, ehehe, Tuhan berkati.

Kalau aku lagi naik-naik atau motret gitu, mas dipta dan mas barel ngajak ngobrol pedagangnya yang lain. Ngobrol buat tugas kuliah lah, rumahe teng pundi, dsb-dsb. Wah, nggak rugi ngajak mas-mas ini. Karena hampir dua jam, jadilah kami artis dadakan di pasar. Ajiip. Ahaha, ada yang minta dicetakin juga loh. Ahaha, pikir tukang foto keliling kaliii. Dan seringnya kita dikira wartawan, “Mas, dilebokno memo ta jawa pos mas? Ojok ditulis kurang gizi lho,” kata salah satu pedangan becanda, waktu kita nyoba motret bapak-bapak kurus pembuat ketupat.

Puas foto-foto, giliran om beruang yang mau ngerjain tugas di pasar keputran. Asyik nih kayaknya. Mas barelnya iyah-iyah aja pengen poto juga. Oke, cabut! Tapi sebelumnya mereka *aku nggak lho ya, ngisi perut dulu di Unair. Maunya sih ngeronde, tapi nggak ada, akhirnya ngaso di warkop dan makan mie duk duk. Segelas Nescafe jadi bensin buat aku nerusin petualangan ini. Hehe
Hampir setengah tiga waktu kami ke pasar keputran. Ngelobi satpam indosat bentar, kami dipinjami tangga. Ta pikir mau motret pakai tangga, biar bagus longshotnya. Eh, nggak tahunya tangganya tuh buat naik reklame indosat yang guede itu loh, dasar aneh-aneh aja. Awalnya aku takut naik, wong tangganya tangga genit a.k.a hulag-halig goyang terus. Tapi pas naik, hemm..lihat pasar keputran yang ruame dan tumplek blek.

Pagi-pagi buta gitu, aku baru tahu, kalau ratusan orang – sementara biasanya aku masih bergelung sama selimut – lagi nyari nafkah. Dari yang masih belekan, berkemeja rapi jali, manggul belanjaan, numpuk dagangan di kepala, semuanya tumplek blek di keputran. Aku sangsi, setelah pasar tutup di pagi hari, mereka bakal tidur di rumah. Kemungkinan malah melanjutkan aktivitas buat mencukupi kebutuhan hidupnya.

Naif banget aku yang sering keki gara-gara pulang pagi dari gedung biru buat ngerjain naskah dulu. Padahal nih ya, aku ada di ruang ber-AC dengan kamar mandi yang homy. Kalau nggak kuat bisa bobok dikamar sebelah studio. Kalau setres bisa fitnes ato ping-pongan dulu di sebelah kompartemen nasional. Oh ya satu lagi, kalau laper bisa telepon 14045, atau yang paling
mutakhir, di sebelah sudah ada KFC 24 jam. Aseeek. Nah, begitu pulang, aku bisa langsung bobok di kamarku yang nyaman, kalau kuliah jam 7 ya apes namanya, kalau kuliahnya siang, whooo, udah kayak beruang kutub aku hibernasi.

Di keputran? Astaga! Mataku berkaca-kaca. Bukan! Bukan karena aku terharu melihat potret kehidupan yang ada di sana. Belum saya renungkan kok waktu itu, ahaha, mikirnya baru ntar diperjalanan. Mataku berkaca-kaca karena bolak-balik pengin muntah. Baunya, astaganaga, bikin aku bersumpah dalam hati kalau ada yang kentut di dekatku aku nggak bakal marah-marah. Karena aku yakin seribu juta persen, baunya nggak bakal sebau ini.

Itu nggak seberapa, yang pengin bikin aku muntah itu tanah yang aku injak. Temen-temen, tahu kan kalau aku phobia segala jenis buah-buahan yang benyek. Whoekss..di keputran ini, tomat segar, cabe, apapun lah, dibiarin aja ditanah becek, keinjek-injek, campur aduk, benyek, kayak bubur sampah. Dan aku pake sandal. Sangat terasa semiwringnya, sangat terasa teman-teman. Ngguilani pol.

Kalau besok calon suamiku syarat nikahnya adalah aku berani belanja di pasar keputran, mungkin aku mikir-mikir dulu. Rasanya aku nggak sanggup. Di pasar ini aku bingung, kalau nunduk dapet penampakan sayur mayur benyek, kalau aku ga nunduk, ntar aku kelihatan labu, pepaya, dan bangsa buah musuhku lainnya. Apalagi kalau nggak nunduk, aku bisa kepleset dan jatuh di tanah nista penuh kebenyekan itu. Aduh-aduh, apakah syarat jadi ibu dan istri yang baik harus belanja di keputran? Tolong dihapuskan ya syarat itu.

Untung mas dipta, ngajak belok di jalan yang agak berpaving - ada benyeknya juga sih, tapi mendingan . Om beruang ini mau ngambil foto pasar keputran dengan background BRI Tower dan gedung-gedung lainnya. Bagus ciak fotonya. Wes pek-pek’en kono mas, nilaimu apik dewe.
Pulang dari keputran, mulutku yang belum lulus S1 komunikasi ini keceplosan. ”Eh, gimana ya anak-anak yang dapat pasar ikan kenjeran. Hi, pasti bagus ada matahari terbitnya,”. Yaks! Jekpot sodara-sodara, mas-mas fotografer ini langsung bersemangat mengajar matahari di kenjeran. Aku buru-buru sms ayahku, meminta ijin, pulang ketika matahari sudah tinggi hari ini.

Perjalanan ke kenjeran ini dingin banget. Udara pagi hari menusuk-nusuk kakiku yang cuma pakai celana ¾ plus sendal jepit. Jaket yang aku pakai, jaket tipis oleh-oleh adikku dari TP5. ohoho, maklum saya nggak mau lagi satum seperti waktu hunting foto di pasar ampel. Aje gile, di sana semua orang pada berjilbab. Aku? Aku malah pakai rok pendek selutut, sendal jepit. Ckckckc, mana dijawil anak kecil tidak bermoral pula. Makanya buat ke pasar mangga dua, aku total jadi selayaknya ibu-ibu belanja ke pasar. Tapi hunting foto yang berlanjut ke kenjeran dengan baju seperti ini, bikin aku tersiksa. Ehehehe.

Masuk daerah Kenjeran, aku nggak mengenali pantainya. Hmm, sudah lama banget aku nggak ke sini. Seingatku, kenjeran ya pantai berwarna sokelat dengan pernak-pernik sampahnya. Ehehe. Tapi jam 5 pagi di Kenjeran ini benar-benar beda. Tuhan emang maha besar, semua yang ia ciptakan itu baik, seperti yang ada di kitab kejadian. Sungguh heran kuasaNya, kenjeran pagi hari itu indah banget.
Bagaimana aku menggambarkannya? Tidak bisa. Aku barusan baca terkom, bahasa itu terbatas. Ahaha. Ya, memang susah menggambarkan warna emas yang berkilau si air laut itu. Beriak-riak kecil menunggu sang surya muncul.

Aku pernah melihat matahari terbit diatas gunung. Lucu sekali. Kecil dan kuat, dia surya yang muncul dibalik gunung/bukit lainnya seperti yang digambar anak Indonesia pada umumnya. Maha besar Bapa Allahku. Indah nggak ketulungan, bau basah embun dan pemandangan ijo royo-royo.
Pertama kali, aku melihatnya, sang surya digunung itu, kini muncul dari laut dihadapanku. Merah membara, gradasi warna dan bau asin angin laut. Perfect moment buat pasangan-pasangan yang berpelukan sepanjang batuan tepi laut. Perfect moment buat aku yang sedang menikmati hidup. Seperti lagunya Opie : I’m single and very happy ^^. Dan ini perfect moment juga buat dua fotografer dari gedung biru itu. Lihat deh fotonya, om beruang sampe njengking-njengking gitu ngejar matahari. Hehe

Jadi, setelah melihat pemandangan yang indah di pagi hari itu, coba bilang padaku apa lagi yang harus kita khawatirkan tentang hidup ini? Seburuk apapun hidup ini, Tuhan tak pernah terlambat menolong. Seperti yang ada di Mazmur Daud : Selalu baru setiap pagi, besar setiaNya. Kenjeran yang buruk rupa tak rupawan itu, sekejap bisa dijadikan indah. Semuanya indah pada waktunya, kawan.

Dan demi waktu yang dianggap indah oleh mas barel dan mas dipta untuk lanjut hunting foto di TP5 dan stasiun semut ini, aku harus sms ayahku lagi buat minta over time (lagi). Hmm, barangkali kalian penasaran kok aku boleh sama orang tuaku kelayapan ke mana-mana, nggak pulang semalaman. I tell you : aku dipercaya oleh orang tuaku. Dan syaratnya adalah, jangan sedikitpun menodai kepercayaan itu. Dan, tengkyu lagi buat Tuhan, yang menempatkanku disisi teman-teman yang semuanya baik-baik.

Oke, lanjut ke TP5. Energi dari nescafe semalam sudah hampir habis. Di TP5 yang masih sepi itu, aku nggak beli apa-apa. Minat sih banyak, tapi baju-bajunya ada di penjual yang beda-beda. Jadi nggak dapet murah dong. Yang semangat malah mas-mas ini. Ehehehe. Oh ya, aku lupa. Pesan moral petualangan ini adalah : gunakanlah bahasa jawa yang benar dan baik. Ya nggak mas? Meskipun, yang kita ajak ngomong dari Mangga dua, keputran, kenjeran sampe TP5 kebanyakan orang madura. Whekekekek. Aku sampai berfikir keras lho kalau mau ngomong. Dan kosakataku dari satu pedangan ke pedangang lain, sama. Improve dikit bisa bahaya, keluar bahasa kemplung jadinya.

Stasiun semut, stasiun teraneh yang pernah kulihat. Berhentinya kereta berangkat dan kereta datang nggak sama. Stasiunnya remang setengah mati. Wah, pokoknya kalau ada turis, jangan diajak ke sana deh. Yang berkesan dari stasiun ini, aku lihat bapak-bapak yang pekerjaannya nggak pernah aku bayangkan sebelumnya : nongkrong di bawah kereta api, diantara roda-rodanya.
Bukan sembarang nongkrong. Bapak-bapak ini bertugas untuk mengencangkan baut-baut si ular besi ini. Memberi oli, merawat, dsb. Sangat sederhana, tapi ditangan merekalah kejadian-kejadian seperti final fantasi (opo destination yo? lupa) bisa dihindarkan. Nggak sempat ngobrol sih, cuma lihat dari kejauhan. Hmm, ternyata sekecil apapun peranmu, dimanapun kamu berada, sangat menentukan buat hal-hal besar yang satu mata rantai didalamnya.

Meskipun capek dan ngantuk nggak karuan. Whueh, aku seneng banget bisa jalan-jalan kayak gini. Kapan-kapan lagi deh, kalau bisa. Pada dasarnya aku emang suka petualangan. Yah, selagi bisa nikmati hidup. Work hard, play hard-lah!!!!! terima kasih buat mas barel, yang sudah mau susah-susah bantuin. Juga mas dipta.

Discussion

sidekil mengatakan...

ehmmmm berbagi pengalaman kayak gini pasti akan sangat bermanfaat bagi kamu dan orang lain.. salam dri si dekil